Selasa, 08 Juni 2010

Jingga Di Langit Jogja

Pulang terlalu sore, hampir magrib. Rintik hujan..lalu deras..lalu merintik lagi. Di depan Adi Sucipto kulihat jembatan bidadari menangkupi jalan. Pelangi, namanya. Muncul paling lama daripada yang pernah kulihat sebelumnya, seumur hidupku. Aku disuguhi cukup waktu untuk mengamati sejak ia terbentuk, bergaya dengan warna-warninya, lalu memudar lagi. Lalu mentari hadir lagi, pelan-pelan seperti kesilauan. Lalu semuanya terang, seperti jam empat sore lagi. Tidak lama,lalu sayup redup, tapi tidak mendung. Sekarang jingga, bersemburat-semburat seperti cipratan cat air pada kanvas langit.

Aku masuk prambanan. Mentari tepat berada di antara 2 candi, membentuk huruf 101. Ia menurun, tapi jingganya tetap ada. Seperti menyulur hingga berkilo-kilo meter atau mungkin malah berjuta-juta kilometer. Lalu makin turun, hingga tinggal setengah tertelan merapi dan awan-awan… Jingga itu tetap ada. Seperti tangan yang menggapai-gapai ingin ditolong. Seperti tak ingin ikut tenggelam. Bahkan ketika mentari benar-benar tak lagi nampak, jingga masih ada.. Namun bagaimanapun inginnya ia berlama-lama mewarnai langit, ia tetap patuh mengikuti mentari, menuju bagian lain dari dunia..

Dan itulah rasaku..yang akan tetap mengikutimu..walau ragaku telah pergi.. tergerus waktu..dan terganti..

(Maret, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar